Friday, December 30, 2011

Pujawali Pura Khayangan Jagat Lingsar dan Perang Topat 2011


Arak-arakan Ketupat

Banyak yang menganggap bahwa Pulau Lombok adalah satelit Pulau Bali. Stigma ini acap muncul karena ada banyak sekali pertalian antara dua pulau kecil di hemisfer selatan Indonesia dan di timur ingar Pulau Jawa ini. Mulai dari citra Lombok yang dianggap “the New Bali” dan digadang-gadang akan menggantikan Bali sebagai destinasi utama wisata alamnya. Jika Kuta Bali sudah overcrowded dengan bule Aussie tak tahu diri, Lombok menawarkan Pantai Kuta yang dengan nama yang sama menyajikan keindahan pantai jauh melebihi Kuta Bali. Ada juga idiom bahwa anda bisa melihat Bali di Lombok namun anda tidak bisa melihat Lombok di Bali. Tidak salah, karena memang sangat jamak wajah-wajah Bali kita lihat di Lombok, utamanya Lombok bagian barat, tempat sebuah kerajaan besar asal Bali menancapkan kuku kekuasaannya dengan amat tajam. Menghasilkan kemiripan simbol-simbol budaya, pertalian dua suku besar, dan perang dingin yang tak pernah berakhir. Ya, Kerajaan Karangasem memang bisa dibilang menjadikan Lombok bagian Barat menjadi Bali seberang laut.

Jika anda membuka buku panduan wisata atau panduan perjalanan yang mengulas tentang Pulau Lombok dan membuka chapter Lombok bagian barat, maka anda akan temukan bahwa sangat banyak destinasi wisata berupa Pura. Ya, di Lombok bagian Barat mencakup Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram adalah pusat kekuasaan Kerajaan Karangasem Sasak dan beberapa kerajaan “orang Bali” yang tentu saja mendirikan beberapa monumen sebagai bentuk kekuasaan atas warga lokal-Suku Sasak-yang salah satu wujudnya adalah pura sebagai tempat persembahyangan Suku Bali yangberagama Hindu. Sebut saja Pura Gunung Pengsong yang adalah pura tertua di Gumi Sasak (julukan Pulau Lombok yang didiami Suku Sasak),Pura Kelepug Mayura (merajan Raja Karangasem), Pura Batu Bolong yang sepintas mengingatkan kita akan Pura Tanah Lot karena kemiripan letak geografisnya di dekat pantai, Pura Suranadi yang mirip Pura Alas Kedaton karena terletak di daerah hutan dengan populasi kera, Pura Kelasa Narmada-miniatur Gunung Rinjani, dan yang paling unik adalah Pura Lingsar.
Beleganjur



Pura yang disebut terakhir adalah obsesi tersendiri bagi saya. Beberapa kali mendengar cerita unik tentang pura ini namun saya baru bisa mengunjunginya sekaligus mampir sembahyang pada pertengahan 2011. Sempat saya browsing tentang ke-khas-an pura ini. Referensi internet memang sangat banyak, namun saya akhirnya menjadi banyak tahu semenjak bertukar informasi dengan teman yang asli berasal dari Lingsar. Benar sekali, Pura Lingsar memang sangat menarik, kaya cerita, dan sarat akan sejarah.
 

Saya sendiri tidak berniat untuk menjelaskan detail waktu berdirinya pura ini yang tentu saja anda bisa mencarinya lewat Ida Sang Hyang Google namun yang pasti Pura Lingsar adalah salah satu buah karya Raja Karangasem yang berkuasa di Lombok bagian barat, dibangun pada sekitar pertengahan abad 18. Keunikan pura ini tercermin pada fakta bahwa sebuah pura yang notabene adalah tempat suci umat Hindu juga disucikan oleh umat Islam Wetu Telu, Islam asli Lombok yang saat ini mulai tergerus oleh pemurnian oleh kaum puritan. Terdiri dari 3 mandala (wilayah) besar yaitu beji atau pemandian di mandala paling selatan, Kemaliq yang merupakan mandala bagian tengah-bagian inilah yang disucikan oleh umat Hindu dan Wetu Telu, dan Pura Gaduh di bagian paling utara. Mandala yang terletak di tengah bernama Kemaliq adalah titik unik Pura Lingsar. Merupakan tempat sakral bagi umat Hindu dan Wetu Telu, diterapkan aturan khusus bagi pengunjung, pemedek, atau kaum pilgrim yang masuk ke dalam Kemaliq. Pantangan penggunaan daging babi dan sapi sebagai sarana yadnya atau persembahan menunjukkan betapa kedua kepercayaan bisa hidup berdampingan tanpa saling mengkonversi. Memang terdapat kemiripan antara Hindu dan Wetu Telu dari sisi sarana ritual. Sama-sama menggunakan puspam (bunga), dupam (dupa, kemenyan, api), palam (buah-buahan), tirta (air suci) walaupun dengan liturgi yang berbeda. Wetu Telu adalah wujud sinkretisme mistikisme Islam, Adwaita Wedanta, dan kepercayaan lokal. Umat Wetu Telu melakukan beberapa ritual yang berkaitan dengan tahapan kehidupan di depan Kemaliq dan Amangku Kemaliq (pemimpin ritual di Kemaliq). Yang pernah saya lihat adalah ritual “ngurisang” atau memotong tambut bayi.
 

Penari Rejang Dewa saat Pujawali

  Apa sebenarnya Kemaliq? Berbentuk tumpukan batu-batu tua yang ditutupi dengan kain putih kuning, Kemaliq adalah tempat sakral bagi umat Hindu dan Wetu Telu. JIka umat Hindu memuja Betara Gede Lingsar di Kemaliq, maka Wetu Telu percaya bahwa Kemaliq adalah tempat moksa Wali yang menyebarkan Islam di Lingsar. Ini juga salah satu contoh pinjam meminjam terminologi antar kepercayaan. Penggunaan istilah moksa umum ditemui di kepercayaan Wetu Telu. Mirip dengan Hindu yang percaya bila orang-orang suci, ketika menemui ajalnya sama sekali tidak meninggalkan bekas badan wadag (raga), Wetu Telu juga demikian. Istilah yang sama juga ditemui pada cerita tentang wafatnya raja-raja di wilayah Bayan, Lombok Utara.
 
Kesenian Batek Baris

Keunikan lain dari Pura Lingsar adalah perayaan Pujawali atau piodalannya yang tidak sebanyak 2 kali setahun atau setiap enam bulan namun sekali dalam setahun. Pelaksanaan Pujawali ini dihelat oleh umat Hindu yang beberapa rangkaian acaranya dilaksanakan berbarengan dengan umat Islam Wetu Telu. Pujawali Pura Lingsar jatuh setiap Purnamaning Kenem (Purnama keenam) menurut penanggalan Bali/Hindu atau Purnama Kepitu menurut wariga Sasak. Di tahun 2011 ini, puncak acara Piodalan/Pujawali Pura Lingsar jatuh pada tanggal 10 Desember 2011. Yang menarik dan membedakan Pujawali Pura Lingsar dengan Pujawali pura-pura lainnya di Bali ataupun Lombok justru rangkaian acara sebelum dan sesudah puncak Pujawali. Sebelum Pujawali adalah rangkaian mendak tirta serta ngelindengang kaok (membawa kerbau memutari area Pura Lingsar) yang dilaksanakan sehari sebelum Purnama Kenem atau tanggal 09 Desember 2011 dan setelah Pujawali adalah pelaksanaan Perang Topat pada puncak Purnamaning Kenem. Dalam prosesi mendak tirta yang dilakukan umat Hindu dengan berjalan sejauh kurang lebih 5km dari Pura Lingsar menuju Dusun Tragtag, Desa Batu Kumbung, Kecamatan Lingsar dan kembali ke Pura Lingsar ada sebuah kesenian yang dipentaskan hanya setahun sekali menjelang Pujawali Pura Lingsar yaitu kesenian Batek Baris, beberapa orang berpakaian a la serdadu Belanda lengkap dengan senapan kayu dipimpin oleh seorang commander yang memberikan komando dalam Bahasa Belanda dipadu dengan Basa Sasak dan diiringi dengan Gamelan Dagdagpung (saya belum menemukan nama asli gamelan ini, beberapa masyarakat yang saya tanyai nama gamelan ini hanya menjawab dengan jawaban Gamelan Dagdagpung). Detail sejarah lahirnya kesenian Batek Baris ini masih belum saya temukan. Mungkin karena Pujawali di Lingsar dauhulunya diiringi oleh barisan serdadu Belanda.
 
Ngelindengang Kaok (Kerbau)
Setelah prosesi mendak tirta selesai, rangkaian acara Pujawali dilanjutkan dengan prosesi menarik lainnya yaitu Ngelindengang Kaok atau membawa kerbau memutari areal Pura Lingsar sebanyak 3 kali. Ngelindengang Kaok dilaksanakan oleh pemuda dari Suku Bali dan Suku Sasak. Cara berpakaian kedua kelompok pemuda cukup mirip, yang menjadi pembeda adalah destar poleng (tutup kepala dengan motif papan catur hitam putih) yang digunakan oleh pemuda Suku Bali. Proses Ngelindengang Kaok ini diiringi beberapa jenis gamelan yaitu Gamelan Dagdagpung, Gamelan Tawaq Tawaq, Gamelan Gendang Beleq dan Gamelan Beleganjur. Gamelan yang disebut terakhir dibawakan orang Bali saat tiga yang lain dibawakan oleh pemuda Sasak.
 
Prosesi Ngelindengang Kaok ini juga menjadi salah satu bentuk mutual respek antara dua buah kepercayaan berbeda. Saat babi adalah haram bagi umat Islam dan sapi disucikan oleh umat Hindu, maka kerbau menjadi sarana upakara sebagai bentuk persembahan atas kesuburan alam yang diberikan oleh Hyang Widhi. Ngelindengang Kaok berakhir dengan persembahyangan bersama dengan cara yang berbeda oleh umat Hindu dan Wetu Telu di Kemaliq dipimpin oleh Mangku Hindu dan Amangku Kemaliq dan pemercikan air suci. Para pendukung prosesi pulang dan bersiap untuk acara besar keesokan harinya.
 

Tanggal 10 Desember 2011 menjadi hari yang absurd di mata saya. Saat sebuah prosesi adat budaya yang dibumbui bau spiritual dari dua suku bangsa besar di Gumi Sasak, ternyata pemerintah yang diharapkan melakukan hal hal signifikan dengan hasil akhir berupa lestarinya sebuah karya agungumat manusia, Pujawali dan Perang Topat tidak melakukan usaha yang optimal. Nihilnya pengaturan yang baik pedagang yang ingin kebagian rejeki dalam pujawali tahun ini serta minimnya publikasi atas sebuah acara besar yang dihelat sejak 1800-an adalah bukti sahih bahwa pemerintah hamper absen, jikalau tidak mau dibilang absen karena telah menyumbang baliho tak bermutu dan menghadirkan “jajaran pimpinan daerah” untuk membuka acara Perang Topat 2011. Yang lebih aneh lagi, pada setiap sambutan-yang tak terlalu penting- dari orang-orang penting yang hadir, tidak sekalipun diucapkan salam panganjali umat Hindu yaitu Om Swastyastu. Bukan maksud meminta perhatian dan gila hormat, tapi tahukah mereka esensi Pujawali dan Perang Topat yang pula berbau Hindu-walaupun dihelat berbarengan dengan orang Sasak yang notabene beragama Islam- bahkan acara ini dihelat di sebuah komplek pura. Kekeliruan yang mungkin saja bisa menimbulkan kecurigaan dan mengurangi respek umat Hindu terhadap pemimpinnya di Lombok Barat. Tapi untungnya hal ini tidak menyurutkan antusiasme warga baik yang menjadi pelaksana Pujawali dan Perang Topat maupun masyarakat yang beratensi menyaksikan perhelatan rutin tahunan ini. Walaupun kata masyarakat sekitar Perang Topat kali ini tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya, tapi saya tetap sangat penasaran melihat bagaiman Perang Topat itu dihelat.
 

Pernah saya membaca tesis seorang peneliti budaya, Perang Topat adalah sarana bagi orang Sasak untuk “memerangi” penjajah Bali yang tanpa memiliki ekses konflik. Atau ada juga yang mengatakan bahwa Perang Topat digagas oleh Raja Karangasem untuk menunjukkan pada rakyatnya yang terdiri dari Suku Bali dan Suku Sasak bahwa berperang hanya akan menimbulkan ketidakbaikan. Apapun yang pasti Perang Topat adalah rangkaian dari Pujawali Pura Lingsar. Sebelum pelaksanaan Perang Topat, ketupat yang nantinya akan dijadikan senjata dalam peperangan disucikan terlebih dahulu di dalam Kemaliq setelah sebelumnya diarak dengan iringan Gamelan Gendang Beleq dan Tawaq-Tawaq dan didahului rombongan Batek Baris. Saat dimulainya rarak kembang waru atau gugurnya kembang waru, pemuda Sasak yang telah berdiri di atas dinding Kemaliq membagikan ketupat kecil (tipat gatep) untuk dijadikan senjata dalam Perang Topat. Saat perang dimulai, keriuhan pun sontak mencapai titik tertinggi. Dan memang benar, warga asli Lingsar baik Suku Bali maupun Suku Sasak yang berpartisipasi dalam Perang Topat sama sekali tidak terprovokasi dan saling dendam ataupun mengeluarkan kata-kata kasar. Berbeda dengan pendatang dari wilayah luar Lombok Barat ataupun luar Lingsar yang menjadi biang keributan karena menggunakan batu dan telur busuk sebagai amunisi. Lolosnya telur busuk dan batu ini menjadi PR besar bagi pengelola dan pelaksana acara. Jangan sampai ke depannya Perang TOpat akan menjadi pemantik perang sebenarnya di luar arena. Saat pelaksanaan perang selesai, beberapa warga tampak membawa pulang ketupat yang mereka dapatkan saat pembagian ketupat dari Kemaliq. Warga percaya, ketupat tersebut dapat membawa kesuburan bagi ladang dan sawah mereka.
 

Begitulah Pujawali dan Perang Topat di Lingsar, mudah-mudahan lestari dan tak mati dimakan jaman ataupun karena pelakunya telah habis terkonversi oleh purifikasi agama oleh puritan-puritan yang mengintai.

1 comment:

Unknown said...

trimaki mas tlah menyebarkan budaya kami saya dari lingsar.. saya taunya cuma tntang upacara perang topat secara mendetail tp untuk piodalan saya blum terlalu jelas mungkin mungkin mas bisa jelasin lebih mndetai. kan ada tarian yang dibawakan trus pemujaan apasaja yang di baca pedande dan lain sebagainnya