Friday, December 30, 2011
Pujawali Pura Khayangan Jagat Lingsar dan Perang Topat 2011
Arak-arakan Ketupat |
Banyak yang menganggap bahwa Pulau Lombok adalah satelit Pulau Bali. Stigma ini acap muncul karena ada banyak sekali pertalian antara dua pulau kecil di hemisfer selatan Indonesia dan di timur ingar Pulau Jawa ini. Mulai dari citra Lombok yang dianggap “the New Bali” dan digadang-gadang akan menggantikan Bali sebagai destinasi utama wisata alamnya. Jika Kuta Bali sudah overcrowded dengan bule Aussie tak tahu diri, Lombok menawarkan Pantai Kuta yang dengan nama yang sama menyajikan keindahan pantai jauh melebihi Kuta Bali. Ada juga idiom bahwa anda bisa melihat Bali di Lombok namun anda tidak bisa melihat Lombok di Bali. Tidak salah, karena memang sangat jamak wajah-wajah Bali kita lihat di Lombok, utamanya Lombok bagian barat, tempat sebuah kerajaan besar asal Bali menancapkan kuku kekuasaannya dengan amat tajam. Menghasilkan kemiripan simbol-simbol budaya, pertalian dua suku besar, dan perang dingin yang tak pernah berakhir. Ya, Kerajaan Karangasem memang bisa dibilang menjadikan Lombok bagian Barat menjadi Bali seberang laut.
Jika anda membuka buku panduan wisata atau panduan perjalanan yang mengulas tentang Pulau Lombok dan membuka chapter Lombok bagian barat, maka anda akan temukan bahwa sangat banyak destinasi wisata berupa Pura. Ya, di Lombok bagian Barat mencakup Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram adalah pusat kekuasaan Kerajaan Karangasem Sasak dan beberapa kerajaan “orang Bali” yang tentu saja mendirikan beberapa monumen sebagai bentuk kekuasaan atas warga lokal-Suku Sasak-yang salah satu wujudnya adalah pura sebagai tempat persembahyangan Suku Bali yangberagama Hindu. Sebut saja Pura Gunung Pengsong yang adalah pura tertua di Gumi Sasak (julukan Pulau Lombok yang didiami Suku Sasak),Pura Kelepug Mayura (merajan Raja Karangasem), Pura Batu Bolong yang sepintas mengingatkan kita akan Pura Tanah Lot karena kemiripan letak geografisnya di dekat pantai, Pura Suranadi yang mirip Pura Alas Kedaton karena terletak di daerah hutan dengan populasi kera, Pura Kelasa Narmada-miniatur Gunung Rinjani, dan yang paling unik adalah Pura Lingsar.
Beleganjur |
Pura yang disebut terakhir adalah obsesi tersendiri bagi saya. Beberapa kali mendengar cerita unik tentang pura ini namun saya baru bisa mengunjunginya sekaligus mampir sembahyang pada pertengahan 2011. Sempat saya browsing tentang ke-khas-an pura ini. Referensi internet memang sangat banyak, namun saya akhirnya menjadi banyak tahu semenjak bertukar informasi dengan teman yang asli berasal dari Lingsar. Benar sekali, Pura Lingsar memang sangat menarik, kaya cerita, dan sarat akan sejarah.
Saya sendiri tidak berniat untuk menjelaskan detail waktu berdirinya pura ini yang tentu saja anda bisa mencarinya lewat Ida Sang Hyang Google namun yang pasti Pura Lingsar adalah salah satu buah karya Raja Karangasem yang berkuasa di Lombok bagian barat, dibangun pada sekitar pertengahan abad 18. Keunikan pura ini tercermin pada fakta bahwa sebuah pura yang notabene adalah tempat suci umat Hindu juga disucikan oleh umat Islam Wetu Telu, Islam asli Lombok yang saat ini mulai tergerus oleh pemurnian oleh kaum puritan. Terdiri dari 3 mandala (wilayah) besar yaitu beji atau pemandian di mandala paling selatan, Kemaliq yang merupakan mandala bagian tengah-bagian inilah yang disucikan oleh umat Hindu dan Wetu Telu, dan Pura Gaduh di bagian paling utara. Mandala yang terletak di tengah bernama Kemaliq adalah titik unik Pura Lingsar. Merupakan tempat sakral bagi umat Hindu dan Wetu Telu, diterapkan aturan khusus bagi pengunjung, pemedek, atau kaum pilgrim yang masuk ke dalam Kemaliq. Pantangan penggunaan daging babi dan sapi sebagai sarana yadnya atau persembahan menunjukkan betapa kedua kepercayaan bisa hidup berdampingan tanpa saling mengkonversi. Memang terdapat kemiripan antara Hindu dan Wetu Telu dari sisi sarana ritual. Sama-sama menggunakan puspam (bunga), dupam (dupa, kemenyan, api), palam (buah-buahan), tirta (air suci) walaupun dengan liturgi yang berbeda. Wetu Telu adalah wujud sinkretisme mistikisme Islam, Adwaita Wedanta, dan kepercayaan lokal. Umat Wetu Telu melakukan beberapa ritual yang berkaitan dengan tahapan kehidupan di depan Kemaliq dan Amangku Kemaliq (pemimpin ritual di Kemaliq). Yang pernah saya lihat adalah ritual “ngurisang” atau memotong tambut bayi.
Penari Rejang Dewa saat Pujawali |
Apa sebenarnya Kemaliq? Berbentuk tumpukan batu-batu tua yang ditutupi dengan kain putih kuning, Kemaliq adalah tempat sakral bagi umat Hindu dan Wetu Telu. JIka umat Hindu memuja Betara Gede Lingsar di Kemaliq, maka Wetu Telu percaya bahwa Kemaliq adalah tempat moksa Wali yang menyebarkan Islam di Lingsar. Ini juga salah satu contoh pinjam meminjam terminologi antar kepercayaan. Penggunaan istilah moksa umum ditemui di kepercayaan Wetu Telu. Mirip dengan Hindu yang percaya bila orang-orang suci, ketika menemui ajalnya sama sekali tidak meninggalkan bekas badan wadag (raga), Wetu Telu juga demikian. Istilah yang sama juga ditemui pada cerita tentang wafatnya raja-raja di wilayah Bayan, Lombok Utara.
Kesenian Batek Baris |
Keunikan lain dari Pura Lingsar adalah perayaan Pujawali atau piodalannya yang tidak sebanyak 2 kali setahun atau setiap enam bulan namun sekali dalam setahun. Pelaksanaan Pujawali ini dihelat oleh umat Hindu yang beberapa rangkaian acaranya dilaksanakan berbarengan dengan umat Islam Wetu Telu. Pujawali Pura Lingsar jatuh setiap Purnamaning Kenem (Purnama keenam) menurut penanggalan Bali/Hindu atau Purnama Kepitu menurut wariga Sasak. Di tahun 2011 ini, puncak acara Piodalan/Pujawali Pura Lingsar jatuh pada tanggal 10 Desember 2011. Yang menarik dan membedakan Pujawali Pura Lingsar dengan Pujawali pura-pura lainnya di Bali ataupun Lombok justru rangkaian acara sebelum dan sesudah puncak Pujawali. Sebelum Pujawali adalah rangkaian mendak tirta serta ngelindengang kaok (membawa kerbau memutari area Pura Lingsar) yang dilaksanakan sehari sebelum Purnama Kenem atau tanggal 09 Desember 2011 dan setelah Pujawali adalah pelaksanaan Perang Topat pada puncak Purnamaning Kenem. Dalam prosesi mendak tirta yang dilakukan umat Hindu dengan berjalan sejauh kurang lebih 5km dari Pura Lingsar menuju Dusun Tragtag, Desa Batu Kumbung, Kecamatan Lingsar dan kembali ke Pura Lingsar ada sebuah kesenian yang dipentaskan hanya setahun sekali menjelang Pujawali Pura Lingsar yaitu kesenian Batek Baris, beberapa orang berpakaian a la serdadu Belanda lengkap dengan senapan kayu dipimpin oleh seorang commander yang memberikan komando dalam Bahasa Belanda dipadu dengan Basa Sasak dan diiringi dengan Gamelan Dagdagpung (saya belum menemukan nama asli gamelan ini, beberapa masyarakat yang saya tanyai nama gamelan ini hanya menjawab dengan jawaban Gamelan Dagdagpung). Detail sejarah lahirnya kesenian Batek Baris ini masih belum saya temukan. Mungkin karena Pujawali di Lingsar dauhulunya diiringi oleh barisan serdadu Belanda.
Ngelindengang Kaok (Kerbau) |
Prosesi Ngelindengang Kaok ini juga menjadi salah satu bentuk mutual respek antara dua buah kepercayaan berbeda. Saat babi adalah haram bagi umat Islam dan sapi disucikan oleh umat Hindu, maka kerbau menjadi sarana upakara sebagai bentuk persembahan atas kesuburan alam yang diberikan oleh Hyang Widhi. Ngelindengang Kaok berakhir dengan persembahyangan bersama dengan cara yang berbeda oleh umat Hindu dan Wetu Telu di Kemaliq dipimpin oleh Mangku Hindu dan Amangku Kemaliq dan pemercikan air suci. Para pendukung prosesi pulang dan bersiap untuk acara besar keesokan harinya.
Tanggal 10 Desember 2011 menjadi hari yang absurd di mata saya. Saat sebuah prosesi adat budaya yang dibumbui bau spiritual dari dua suku bangsa besar di Gumi Sasak, ternyata pemerintah yang diharapkan melakukan hal hal signifikan dengan hasil akhir berupa lestarinya sebuah karya agungumat manusia, Pujawali dan Perang Topat tidak melakukan usaha yang optimal. Nihilnya pengaturan yang baik pedagang yang ingin kebagian rejeki dalam pujawali tahun ini serta minimnya publikasi atas sebuah acara besar yang dihelat sejak 1800-an adalah bukti sahih bahwa pemerintah hamper absen, jikalau tidak mau dibilang absen karena telah menyumbang baliho tak bermutu dan menghadirkan “jajaran pimpinan daerah” untuk membuka acara Perang Topat 2011. Yang lebih aneh lagi, pada setiap sambutan-yang tak terlalu penting- dari orang-orang penting yang hadir, tidak sekalipun diucapkan salam panganjali umat Hindu yaitu Om Swastyastu. Bukan maksud meminta perhatian dan gila hormat, tapi tahukah mereka esensi Pujawali dan Perang Topat yang pula berbau Hindu-walaupun dihelat berbarengan dengan orang Sasak yang notabene beragama Islam- bahkan acara ini dihelat di sebuah komplek pura. Kekeliruan yang mungkin saja bisa menimbulkan kecurigaan dan mengurangi respek umat Hindu terhadap pemimpinnya di Lombok Barat. Tapi untungnya hal ini tidak menyurutkan antusiasme warga baik yang menjadi pelaksana Pujawali dan Perang Topat maupun masyarakat yang beratensi menyaksikan perhelatan rutin tahunan ini. Walaupun kata masyarakat sekitar Perang Topat kali ini tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya, tapi saya tetap sangat penasaran melihat bagaiman Perang Topat itu dihelat.
Pernah saya membaca tesis seorang peneliti budaya, Perang Topat adalah sarana bagi orang Sasak untuk “memerangi” penjajah Bali yang tanpa memiliki ekses konflik. Atau ada juga yang mengatakan bahwa Perang Topat digagas oleh Raja Karangasem untuk menunjukkan pada rakyatnya yang terdiri dari Suku Bali dan Suku Sasak bahwa berperang hanya akan menimbulkan ketidakbaikan. Apapun yang pasti Perang Topat adalah rangkaian dari Pujawali Pura Lingsar. Sebelum pelaksanaan Perang Topat, ketupat yang nantinya akan dijadikan senjata dalam peperangan disucikan terlebih dahulu di dalam Kemaliq setelah sebelumnya diarak dengan iringan Gamelan Gendang Beleq dan Tawaq-Tawaq dan didahului rombongan Batek Baris. Saat dimulainya rarak kembang waru atau gugurnya kembang waru, pemuda Sasak yang telah berdiri di atas dinding Kemaliq membagikan ketupat kecil (tipat gatep) untuk dijadikan senjata dalam Perang Topat. Saat perang dimulai, keriuhan pun sontak mencapai titik tertinggi. Dan memang benar, warga asli Lingsar baik Suku Bali maupun Suku Sasak yang berpartisipasi dalam Perang Topat sama sekali tidak terprovokasi dan saling dendam ataupun mengeluarkan kata-kata kasar. Berbeda dengan pendatang dari wilayah luar Lombok Barat ataupun luar Lingsar yang menjadi biang keributan karena menggunakan batu dan telur busuk sebagai amunisi. Lolosnya telur busuk dan batu ini menjadi PR besar bagi pengelola dan pelaksana acara. Jangan sampai ke depannya Perang TOpat akan menjadi pemantik perang sebenarnya di luar arena. Saat pelaksanaan perang selesai, beberapa warga tampak membawa pulang ketupat yang mereka dapatkan saat pembagian ketupat dari Kemaliq. Warga percaya, ketupat tersebut dapat membawa kesuburan bagi ladang dan sawah mereka.
Begitulah Pujawali dan Perang Topat di Lingsar, mudah-mudahan lestari dan tak mati dimakan jaman ataupun karena pelakunya telah habis terkonversi oleh purifikasi agama oleh puritan-puritan yang mengintai.
Thursday, March 31, 2011
Keindahan Selat Alas, Penyeberangan Pototano Sumbawa - Kayangan lombok Timur
Penyeberangan Pototano-Kayangan adalah penyeberangan penghubung dua pulau di Propinsi Nusa Tenggara Barat, Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Jika di beberapa penyeberangan selat antar pulau tidak begitu berkesan dan hanya sekadar menjadi pelengkap perjalanan seperti penyeberangan Pulau Jawa menuju Bali di Selat Bali atau bahkan menjadi neraka bagi penumpang tak kuat berlama-lama di lautan dengan ombak besar seperti penyeberangan Bali-Lombok yang menempuh 4-5 jam dengan variasi gelombang tinggi rendahnya, peneyeberangan Pototano-Kayangan dapat menejadi hal menarik tersendiri untuk perjalanan anda baik menuju atau dari Pulau Lombok
Momen terbaik akan anda dapatkan saat perjalanan dari Pulau Sumbawa menuju Pulau Lombok yang tepat pada transisi gelap subuh menuju pagi hari yang cerah. Selain dapat menikmati sunrise dari arah timur yang walaupun tertutup oleh perbukitan tetap memiliki keindahan tersendiri, kita juga disuguhi beberapa pulau kecil yang sangat indah jika dipadu dengan cerahnya langit pagi. Hijau rimbun dedaunan dengan biru cerah langit pagi. Beberapa pulau bahkan memiliki pasir putih yang sangat menarik untuk dikunjungi. Ke depan mungkin Pototano-Kayangan tidak hanya menjadi perlintasan semata tapi akan menjadi destinasi tersendiri selain dua pulau besar yang ia hubungkan.
Read More......
Friday, March 25, 2011
Wadu Pa'a, Siwa Budha yang Tersisa di Bima
Menelisik dan mencari tahu kehidupan pada zaman sebelum kita adalah agenda yang tak akan pernah berhenti di nusantara. Banyak artefak dan literatur yang mengguratkan beberapa fakta gamblang maupun terselubung mengenai keluhuran budaya era leluhur. Sayangnya beberapa dari kita menganggap bahwa produk budaya zaman tersebut adalah hasil karya zaman batu yang tidak relevan lagi menjadi kebanggaan kita sebagai sebuah bangsa. Padahal tak pernah habis hasil karya bangsa dan nusantara dari berbagai era untuk digali. Salah satu contoh produk "zaman batu" adalah candi-candi. Selama ini, persebaran letak candi yang ditemukan sebagian besar di Pulau Jawa, utamanya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Fakta ini memang diperkuat dengan studi yang menyatakan bahwa sebagian besar kerajaan bercorak Siwa-Buda dan Paganis terletak di wilayah ini. Namun bukan berarti di daerah lain tidak terdapat landmark-landmark sejenis. Kabupaten Bima juga memiliki landmark hampir serupa, setidaknya ada satu yang cukup besar. Situs Wadu Pa'a terbagi menjadi dua wilayah yaitu Wadu Pa'a Satu dan Dua dengan wilayah yang terpisah kurang lebih 100 meter. Dari dermaga kecil tempat perahu tertambat kita langsung mendapati situs Wadu Pa'a Dua. Kondisi situs ini sebenarnya tidak begitu buruk dengan adanya pemagaran dan penetapan statusnya sebagai benda cagar budaya. Namun yang patut disayangkan adalah seringkali terdapat kambing yang masuk ke areal situs dan membuang kotoran secara sembarangan dan mengurangi estetika di sekitar situs.
Di situs Wadu Pa'a Dua ini terdapat 5 arca lingga dengan 2 diantaranya (sepertinya) sudah lapuk dimakan zaman, pahatan arca mirip Sang Budha Gautama yang juga sudah memudar. Pahatan tersebut juga tampak kurang terlihat artistik mungkin karena kondisinya yang sangat tua atau mungkin saja karena tidak dipahat oleh ahli pahat namun oleh orang awam biasa. Di tebing itu juga terdapat pahatan arca mirip Ganesha namun kondisnya sudah hampir tidak berbentuk. Kembali lagi usia dan faktor alam yang membuatnya rusak dengan sendirinya. Yang masih nampak cukup jelas adalah pahatan dengan citra mirip meru dan satu pahatan mirip sejenis genta ataupun kendi air. Dilihat dari letak situs yang berada di walayah utara timur yang menurut kosmologi Hindu cocok menjadi tempat penyembahan serta bentuk-bentuk relief yang menggambarkan dewa-dewi serta Sang Budha, dapat ditarik kesimpulan kasar jika tempat ini dulunya diperuntukkan sebagai tempat melakukan penyembahan.
Selain situs Wadu Pa'a Dua, seratus meter jauhnya, terdapat situs Wadu Pa'a Satu yang suasananya sedikit gelap karena terdapat sebuah pohon yang sangat besar. Untuk masuk mendekati tebing berpahat ini kita perlu memanjat pagar, karena tak seperti situs Wadu Pa'a Dua yang pagarnya tidak dikunci, situs Wadu Pa'a satu terkunci rapat. Di situs Wadu Pa'aSatu ini juga terdapat beberapa relief mirip meru dan candi-candi di Jawa dengan bentuk mirip puncak Candi Prambanan dan Candi Angkor Wat di Kamboja. Bentuk-bentuk ini juga mirip payung raksasa yang terlipat. Memang perlu penelitian arkeologi yang lebih detail memang. Sama seperti di situs Wadu Pa'a Dua, di wilayah Wadu Pa'a Satu juga terdapat bekas arca lingga yang sayangnya sudah tidak berbentuk lingga sempurna. Kawasan ini memang relatif lebih teduh dibanding Wadu Pa'a Dua karena tebingnya yang membentuk cekungan horisontal dan membuat ruangan beratap tebing . Kurang jelas apakah cekungan ini merupakan buatan manusia atau terbentuk dari proses metamorfosis dan sedimentasi batuan.
Melihat dari begitu banyak hal yang belum terungkap dengan jelas mengenai situs ini dan apa keterkaitannya dengan Kerajaan Bima pra kesultanan perlu sekali ada penelitian lebih lanjut. Di situs Wadu Pa'a Satu pula saya melihat tulisan di batuan yang hurufnya merupakan aksara kuno dan membutuhkan ahli aksara kuno untuk mengungkap secara jelas apa yang dimaksud dengan tulisan tersebut. Pengungkapan apa dan bagaimana situs ini secara khusus akan semakin menunjukkan keluhuran budaya nusantara, setidaknya keluhuran budaya era yang selalu disebut zaman batu dulu termasuk produk-produk batunya.
Read More......
Surga Lainnya - Gili Trawangan
Sungguh sebenarnya adalah sangat terlambat jika saya membuat tulisan tentang bagaimana keindahan gugusan Gili (pulau) di barat laut Pulu Lombok yang dikenal dengan Gili Mantra (Gili Meno, Air, Trawangan). Nama yang disebut terakhir dalam kepanjangan akronim Gili Mantra adalah nama yang sudah sangat populer dan menjadi destinasi yang hampir utama bagi wisatawan mancanegara yang itinerary-nya berkaitan dengan keindahan pantai dan panorama bawah laut.
Gili Trawangan adalah salah satu bentuk pengejawantahan eco tourism, setidaknya melihat fakta bahwa di Gili Trawangan tidak diperbolehkan adanya penggunaan kendaraan bermotor dalam jenis paling sederhana sekalipun. Jadi sepeda, cidomo (sejenis delman dengan roda mobil), dan berjalan kaki adalah pilihan utama untuk berpindah tempat di Gili Trawangan.
Harus kita akui jika Gili Trawangan sudah menjadi sangat ramai dan butuh penataan yang lebih serius dari pemerintah lokal. Bagaimana harus ada regulasi dan pengaturan tentang pembangunan hotel, resort, restoran, dan homestay yang lebih eco friendly. Jangan sampai terjadi salah urus layaknya beberapa kawasan wisata di Bali yang akhirnya menghasilkan perdebatan panjang tentang tata ruang wilayah. Mumpung masih di awal dan belum menjadi ladang utama para penanam modal yang rakus dan tidak memperdulikan tata ruang dan analisa dampak lingkungan.
Di samping itu, Gili Trawangan memerlukan penataan jalan yang menjadi akses utama bagi para wisatawan yang ingin berkeliling pulau dengan sepeda. Belum adanya jalur yang nyaman untuk berjalan kaki dan bersepeda bagi para pengunjung tentu menjadi nilai minus tersendiri untuk Gili Trawangan. Di beberapa titik masih terdapat jalur yang berpasir, berlumpur, dan becek yang tidak nyaman untuk para wisatawan.
Menurut saya, lebih baik jika dibuat jalur yang terpisah antara pejalan kaki, pengguna sepeda, dan cidomo. Akses berupa jalan setapak berpaving bisa menjadi alternatif demi kenyamanan pengendara sepeda dan pejalan kaki. Namun tentu pelaksanaan land improvement ini jangan sampai mengurangi eksotisme wisata pantai. Solusinya rekrut tenaga-tenaga muda yang memiliki banyak ide cemerlang di otak mereka.
Pengoperasian cidomo juga harus memiliki regulasi tersendiri sehingga jangan sampai terjadi kawasan wisata yang jorok akibat terdapat banyak kotoran kuda yang berserakan. Harus terdapat sosialisasi bagi para penyedia jasa cidomo untuk ikut menjaga kebersihan kawasan wisata.
Terlepas dari kekurangan yang saya lihat saat saya beriwisata, Gili Trawangan adalah tempat yang sangat indah. Menjadi lebih indah karena kita bisa bertemu bermacam orang dari berbagai macam suku bangsa dunia di sana. Gili Trawangan akan menjadi sebuah kampung internasional selain Bali jika diurus dengan proper dan baik.
Untuk obyek bawah air, Gili Trawangan memang bukan menjadi yang nomor satu. Terumbu karang ada jauh di tengah laut kecil antara Gili Trawangan dan Gili Air. Namun dengan kontur pantai yang berundak, Gili Trawangan menjadi sangat indah jika dilihat dari atas. Warna bening, biru muda, dan biru gelap membentuk sebuah gradasi yang indah. Dan tanpa perlu snorkling sampai di tengah laut kita sudah dapat melihat beberapa macam ikan hias berwarna warni, walaupun tentu dengan jumlah yang masih kalah jauh dibanding Bunaken.
Apapun, Gili Trawangan adalah surga lainnya di Indonesia. See you at The Gilis.
Tuesday, December 14, 2010
Sawarna, Surga Lainnya di Indonesia
Seorang teman saya dari Amerika Serikat pernah berkata pada saya, "How could your country known as very poor country since there're so many heaven there." Ya, negara kita yang saat ini ada dalam krisis multidimensi tanpa ujung ini, diakui (atau mungkin sudah disamakan) sebagai gudangnya surga dunia. Surga yang dalam interpretasi pembuat agama yaitu manusia itu sendiri sebagai tempat yang indah, damai, air-air bersih, udara segar, pemandangan cantik, suara alam terdengar jelas, dan melenakan tanpa henti menjelma menjadi sebuah negara yang berada di dua hemisfer, berada di tempat yang selalu dilintasi matahari, terletak di pusat gravitasi tertinggi, Indonesia. Pulau Bali (dan ditambah baru-baru ini Pulau Lombok) sudah terlalu overrated dan overexposed. Surga lainnya telah banyak bermunculan dan menunggu untuk dikunjungi. Menunggu untuk dinikmati sebagai buah yang manisnya akan habis. Dan Sawarna adalah buah itu. Masih untung, saat ini manisnya belum terlalu banyak dicicipi pelancong mainstream, daerah ini juga belum dijilat lidah-lidah api kapitalisme bule atau imperialis lokal a-la orang kaya ibu kota dan sekitarnya.
Berjarak lima jam dari Jakarta sang Metropolutan, Sawarna justru menjadi tempat yang kurang dikenal dibandingkan obyek wisata di radius Jakarta-Banten-Jawa Barat. Desa Sawarna adalah teritori Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Untuk mencapai lokasi banyak cara dipakai. Dengan menggunakan mobil pribadi dapat lewat Rangkasbitung lalu berbelok ke Malingping dengan konsekuensi harus tahan jalan yang buruk dan berlubang atau lewat Pelabuhan Ratu yang akses jalannya lebih bagus namun sedikit memutar karena harus melewati Bogor dan Sukabumi alias lintas tiga propinsi. Untuk akses kendaraan umum, saya belum pernah mencoba. :)
Memasuki wilayah Desa Sawarna kesan pertama yang saya tangkap adalah minimnya fasilitas untuk para wisatawan seperti layanan perbankan, kesehatan, atau pusat ritel perbelanjaan. Sekali lagi, minimnya fasilitas sepertinya memang harus dipertahankan untuk tetap menjaga agar Sawarna tidak menjadi Bali atau Lombok berikutnya (baca surga kapitalis tak bermoral). Biarkan para turis menghitung sendiri konsekuensi datang ke suatu daerah baru yang berarti harus mempersiapkan segala sesuatu dengan matang.
Hari pertama di Sawarna, saya habiskan untuk menghirup udara segar pedesaan yang diberikan gratis oleh Tuhan (FYI: di Jakarta udara ini menjadi barang mahal, harga minimal adalah seharga minuman termurah dari sebuah restoran ber-AC). Udara segar yang menjadi gabungan udara basah hutan tropis dan angin laut. Perpaduan romantis yang melenakan manusia. Gua Lalay menjadi tujuan saya berikutnya. Sebuah gua yang jarak dari start sampai finishnya adalah setengah jam. Konon gua ini terbentuk sejak jaman miosen dan dilengkapi stalaktit dan stalakmit indah di dalamnya. Pengalaman baru untuk saya yang belum pernah caving bahkan untuk tingkat paling pemula sekalipun. Gua Lalay menjadi perlintasan sungai berlumpur dan didiami oleh ratusan (atau ribuan) kelelawar. Hewan nocturnal ini memang menjadi penghuni lazim sebuah gua.Yang menarik di sini adalah terdapat sebuah aula besar di mana di dinding atas gua para kelelawar itu seperti memandang tajam sang tamu. Suasananya seperti di Batcave-nya Batman.Yeahh..
Di Sawarna juga saya sempat mencoba kembali surfing, olah raga yang pernah saya coba walaupun selalu gagal dan tak pernah jago. Di musim kering, kata pemuda setempat, beberapa bule Aussie atau Amrik datang ke tempat ini untuk mencoba ombak di Sawarna Point Reef. Saya sempat ditunjukkan dokumentasi beberapa bule yang datang saat ombak Sawarna Point Reef sedang bagus-bagusnya. Dan percayalah sang ombak tak kalah dengan Kuta, Dreamland, Suluban, Medewi, Keramas, G-Land, atau Cimaja. Sebuah alternatif lain untuk peselancar lokal maupun duranegara. Yang saya sayangkan adalah para pemuda dan anak lokal yang tidak terlalu antusias untuk menekuni olah raga ini. Padahal merekalah yang seharusnya justru paling mengenal ombak di sini, bukan bule-bule dari luar negeri. Saya sendiri berjanji akan mengajak beberapa teman untuk berselancar di Sawarna. Entah kapan janji itu dapat saya tepati, karena di tahun yang baru saya harus menjadi penghuni Pulau Sumbawa.
Sunday, December 5, 2010
Stasiun Tawang Semarang
Hampir semua stasiun besar kereta api di Indonesia merupakan hasil karya kolonial Belanda. Sebagian besar dari stasiun buatan Belanda ini merupakan landmark kota yang akhirnya menjadi objek kerja pemerintah di bidang pelestarian benda-benda bersejarah. Semarang sang ibukota Jawa Tengah yang juga merupakan kota pelabuhan tak pelak memiliki banyak landmark berarsitektur Belanda yang dipengaruhi gaya art deco yang sedang populer di wilayah Eropa saat periode kekuasaan belanda di Indonesia kala itu. Stasiun Tawang adalah salah satunya dan yang paling utama karena masih digunakan untuk pelayanan kepada masyarakat.
Gereja Blenduk
Semarang bukanlah sebuah kota yang menjadi destinasi utama wisatawan di wilayah Jawa Tengah. Ibu kota propinsi yang dahulunya merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang karena sedimentasi yang kontinu kemudian berubah menjadi sebuah daratan luas. Selanjutnya daratan itu berkembang menjadi sebuah wilayah pelabuhan yang ramai. Nama Semarang sendiri muncul setelah masuknya Islam lewat Demak. Sebelumnya, di masa pemerintahan Mataram Hindu, daerah ini bernama Pragota.
Letak wilayahnya yang berada di pesisir membuat Semarang sangat banyak terpengaruh budaya luar. Kejawen sudah sangat ditinggalkan dan hampir tidak tersisa dalam realita kehidupan sehari-hari masyarakat Semarang. Islam telah menyebar sempurna di wilayah ini, didukung dengan faktor kedekatan geografis dengan Demak. Selain pengaruh Islam, pengaruh Belanda juga sangat jelas terlihat di wilayah Semarang. Tak jauh dari wilayah pelabuhan, terdapat komplek bangunan dengan warna arsitektur Belanda. Termasuk pula Stasiun Tawang di dalamnya, Semarang memiliki Kota Lama, seperti Jakarta memiliki Kota Tua.
Salah satu bangunan paling terkenal di kawasan Kota Lama, selain Stasiun Tawang, adalah Gereja Blenduk. Sebuah Gereja Protestan yang merupakan gereja tertua di Semarang. Dibangun sekitar 1753 oleh orang Belanda di Semarang. Arsitekturnya yang unik dengan bentuk segi enam (heksagon) dan dengan kubah mirip masjid membuat gereja ini memiliki daya tarik tersendiri dibanding gereja tua lainnya di Semarang. Istilah blenduk ini juga merupakan sebutan warga lokal merujuk pada kubahnya yang mblendhug.
Gereja ini sempat mengalami pemugaran, restorasi, dan pengembangan pada tahun 1894. Pada tahun ini W. Westmaas dan H.P.A. de Wilde menambahkan bangunan baru berupa menara kembar yang berisi jam raksasa. Sampai saat ini, Gereja yang bernama asli, GPIB (Gereja Protestan Indonesia bagian Barat) Immanuel masih digunakan untuk kebaktian setiap hari Minggu oleh umat Kristiani di Semarang. Read More......
Subscribe to:
Posts (Atom)