Tuesday, October 5, 2010

Sedikit tentang Candi Cetho



Tak banyak yang benar-benar tahu keberadaan Candi Cetho di Jawa Tengah. Kebanyakan dari kita, para pelancong dari kota besar, hanya mengakrabi Candi Prambanan dan Candi Borobudur. Kedua candi ini banyak kita kenal dari pelajaran Sejarah sewaktu di bangku sekolah dulu. Keraton Ratu Boko (Candi Ratu Boko)-pun baru populer belakangan ini dengan maraknya iklan salah satu ormas nasional yang iklan-nya mengambil setting di Keraton Ratu Boko. Lalu di mana posisi Candi Cetho dalam pelajaran Sejarah yang diajarkan di sekolah? Berikut sedikit saya sarikan sedikit seluk beluk Candi Cetho yang bersumber dari buku "Candi Cetho, Sangkan Paraning Dumadi" karya Suro Gendeng dan wawancara singkat saya dengan Wasi (pendeta Hindu) setempat ketika tengah bulan September kemarin tangkil ke Candi Cetho untuk bersembahyang.

Candi Cetho untuk pertam kalinya"muncul" kembali ke dunia setelah adanya laporan penelitian arkeolog Belanda, Van der Vlis pada tahun 1842. Kerja sang arkeolog diikuti oleh kompatriotnya yaitu W.F. Stutterhim, K.C. Crucq, dan A.J. Bernet Kempers. Pada tahun 1928 Dinas Purbakala mengambil alih kendali rekonstruksi Candi Cetho yang kemudian berlanjut dengan pemugaran pada tahun 1975-1976. Menurut Wasi setempat, Candi Cetho sebelumnya tersembunyi dalam semak belukar yang sangat lebat. Menurut hemat saya, semak belukar inilah yang menyelamatkan Candi Cetho dari kehancuran setelah masuknya Islam di tanah Jawa.

Candi Cetho terletak di lereng barat Gunung Lawu, tepatnya di Dusun Cetho, Kelurahan Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Lokasi Candi Cetho dapat dijangkau dengan kendaraan pribadi sekitar 40 menit dari Kota Solo. Tidak terlalu sulit mencari lokasi karena terletak tak jauh dari jalan utama Solo-Tawangmangu. Jika menggunakan kendaraan umum bisa menggunakan bus ukuran sedang dan besar ke arah Tawangmangu dari Terminal Kota Solo dan berhenti di gerbang arah kawasan Cetho-Sukuh. Untuk transportasi berikutnya silahkan mencari ojek karena jarang sekali ada angkutan desa.

Papan petunjuk Candi Cetho
Pengunjung dan atau pemedek (umat Hindu yang akan bersembahyang) akan disuguhi pemandangan yang indah dalam perjalanan menuju Candi Cetho. Perbukitan luas dengan udara sejuk dan view kebun teh dan hutan cemara akan langsung menjadi remedy untuk racun stres di kepala. Daerah di sekitar Candi Cetho memang merupakan wilayah yang subur dan cocok ditanami tanaman perkebunan seperti teh dan sayur-sayuran. Tak heran kebanyakan di antara pribumi mengandalkan mata pencaharian pekerja kebun teh. Dan tentu saja beberapa tanah perkebunan di sana telah menjadi milik pemilik modal yang berdomisili di kota besar. Khusus untuk para pemedek yang akan bersembahyang di Candi Cetho, kontur kemiringan tanah di depan Candi Cetho yang curam (lebih dari 45 derajat) menjadi pengalaman tersendiri.

View kebun teh sekitar Candi Cetho
Pekerja kebun teh
Candi Cetho merupakan candi yang bernafaskan Hindu. Tampak dari adanya arca dan relief lingga-yoni dalam komplek candi ini. Lingga-Yoni adalah perlambang purusa pradana atau Batara Siwa dan Betari Durga. Jangan pernah mengkaitkan bentuk lingga-yoni dengan hal berbau pornografi, karena alih-alih ingin mengumbar kesan porno, relief dan bentuk ini justru ingin mendeskripsikan asal mula kehidupan yang diawali dengan pertemuan maskulinisme dan feminisme. Dan jangan salah konsep lingga-yoni ini juga diterapkan dalam banyak keraton di Indonesia seperti Keraton Ngayogyakarta. Di Keraton Kasepuhan Cirebon juga terdapat batu berbentuk lingga-yoni yang masih ada sampai sekarang di area Siti Hinggil. 

Gapura Candi Cetho
Areal Candi Cetho mirip dengan bentuk-bentuk pura di Bali. Bukan dari relief-relief yang sama, namun dari pembagian mandala. Di Bali umumnya dikenal konsep Tri Mandala yaitu Nistaning Mandala, Madyaning Mandala, dan Utamaning Mandala. Konsep Tri Mandala ini analog dengan konsep tiga tingkatan alam yaitu Tri Loka (Bhur, Bwah, Swah)

Relief-relief yang ada di Candi Cetho memang tampak tidak nyeni jika dibandingkan dengan relief Candi Prambanan. Khusus untuk fakta ini terdapat tiga pendapat yang dikemukakan atasnya yaitu :
  1. Pemahat Candi Cetho bukanlah pemahat batu tapi pemahat kayu yang tidak berasal dari kalangan undagi  istana.
  2. Adanya kebutuhan mendesak atas trerbentuknya tempat pemujaan sehingga pembuatan candi ini terkesan tergesa-gesa.
  3. Situasi politik dan ekonomi Majapahit yang tidak memungkinkan untuk membanngun candi yang megah.
 Nistaning Mandala (Loka Terluar)

Pada saat memasuki areal Candi Cetho dari arah depan, kita akan menjumpai susunan batu berundak-undak berjumlah 35 anak tangga yang di ujungnya terdapat 3 arca wanita penjaga pintu masuk candi. Pada teras bagian 2 terdapat 26 anak tangga yang di ujung undakan ke-7 terdapat arca penjaga candi bentar. Setelah melanjutkan naik setinggi 18 anak tangga terdapat candi bentar atau gapura. 


Madyaning Mandala (Loka Kedua)

Gapura candi bentar yang disebutkan sebelumnya adalah batas dari nistaning mandala dan madyaning mandala. Pada mandala kedua ini terdapat bangunan berbentuk bujur sangkar yang di dalamnya terdapat palinggih berbentuk tumpukan batu bersusun dengan atap berupa ijuk. Oleh masyarakat sekitar, pelinggih ini merupakan persemayaman Eyang Krincing Wesi yang dipercaya menjadi asal mula Dusun Cetho. Setiap hari Anggarakasih (Selasa Kliwon) pawukom Modosio (Medangsia) diadakan upacara pitra yajna (korban suci kepada leluhur dalam ajaran Hindu) berupa kenduri untuk menghormati para leluhur.

Pelinggih Eyang Krincing Wesi
Arca yang hancur dimakan waktu
Punden menuju utama mandala
Di Madyaning Mandala ini juga terdapat arca-arca yang menggambarkan cerita Samudra Manthana dan Garudeya. Tokoh-tokohnya adalah garuda dan kura-kura yang diwujudkan dengan susunan batu di atas tanah berbentuk kontur burung yang sedang mengembangkan sayapnya dan di atasnya terdapat kura-kura. Terdapat pula arca lingga dan yoni yang disatukan dengan bentuk garuda. Selain itu terdapat beberapa susunan batu berbentuk sengkalan mamet atau tahun yang digambarkan dalam bentuk binatang dan atau tumbuhan.

Pada madyaning mandala ini juga dapat dijumpai balok-balok batu yang berelief tokoh-tokoh pewayangan yang menceritakan lakon Sudamala. Lakon Sudamala sendiri adalah cerita tentang proses ruwatan  Batari Durga oleh Sang Sahadewa menjadi rupa Dewi Parwati yang cantik. Melalui cerita yang saya dapatkan dari wasi setempat, Candi Cetho kemudian disebutkan sebagai candi pengruwatan sedangkan Candi Sukuh menjadi candi prayascita.

Utamaning Mandala (Loka Ketiga)

Pada areal Utamaning Mandala terdapat tiga teras. Di areal teras pertama terdapat 6 bangunan dengan kerangka kayu yang diantaranya terdapat 2 karang beratap ijuk yang di dalamnya terdapat arca Eyang Sabdopalon dan Eyang Nayagenggong. Beliau berdua adalah abdi dan penasihat spiritual Eyang Brawijaya V.
Gapura Candi Bentar


Arca Eyang Nayagenggong
Arca Eyang Sabdopalon
Pada areal teras kedua Utamaning Mandala terdapat arca Eyang Brawijaya V dan arca phallus (lingga perlambang Batara Siwa). Selain itu terdapat bangunan kayu yang di dalamnya terdapat batu sejenis petilasan Empu Supo. Candi utama di kompleks Candi Cetho adalah candi induk yang menyerupai bangunan candi Suku Maya dan Azteca di Amerika Selatan. Belum banyak studi yang kemudian mengungkap kemiripan ini.
Gerbang menuju candi utama
Penulis di Mandala Utama Candi
Ada sedikit cerita menarik saat saya tangkil ke Candi Cetho sebelumnya pada tahun 2009. Saat bersembahyang di mandala utama teman saya mengaku melihat penampakan kaki Bethara Siwa di atas Mandala Utama. Saya sendiri mendapat pengalaman religius baru ketika air mineral yang saya beli sebelumnya untuk tirta persembahyangan menjadi manis ketika dipercikkan kepada saya utnuk saya minum. Konon, sang pandita, yang kebetulan seorang perempuan, menurut penglihatan teman saya berdiri di atas seekor ular besar ketika melakukan purwadaksina dan memercikkan tirta.

No comments: