Tuesday, December 14, 2010
Sawarna, Surga Lainnya di Indonesia
Seorang teman saya dari Amerika Serikat pernah berkata pada saya, "How could your country known as very poor country since there're so many heaven there." Ya, negara kita yang saat ini ada dalam krisis multidimensi tanpa ujung ini, diakui (atau mungkin sudah disamakan) sebagai gudangnya surga dunia. Surga yang dalam interpretasi pembuat agama yaitu manusia itu sendiri sebagai tempat yang indah, damai, air-air bersih, udara segar, pemandangan cantik, suara alam terdengar jelas, dan melenakan tanpa henti menjelma menjadi sebuah negara yang berada di dua hemisfer, berada di tempat yang selalu dilintasi matahari, terletak di pusat gravitasi tertinggi, Indonesia. Pulau Bali (dan ditambah baru-baru ini Pulau Lombok) sudah terlalu overrated dan overexposed. Surga lainnya telah banyak bermunculan dan menunggu untuk dikunjungi. Menunggu untuk dinikmati sebagai buah yang manisnya akan habis. Dan Sawarna adalah buah itu. Masih untung, saat ini manisnya belum terlalu banyak dicicipi pelancong mainstream, daerah ini juga belum dijilat lidah-lidah api kapitalisme bule atau imperialis lokal a-la orang kaya ibu kota dan sekitarnya.
Berjarak lima jam dari Jakarta sang Metropolutan, Sawarna justru menjadi tempat yang kurang dikenal dibandingkan obyek wisata di radius Jakarta-Banten-Jawa Barat. Desa Sawarna adalah teritori Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Untuk mencapai lokasi banyak cara dipakai. Dengan menggunakan mobil pribadi dapat lewat Rangkasbitung lalu berbelok ke Malingping dengan konsekuensi harus tahan jalan yang buruk dan berlubang atau lewat Pelabuhan Ratu yang akses jalannya lebih bagus namun sedikit memutar karena harus melewati Bogor dan Sukabumi alias lintas tiga propinsi. Untuk akses kendaraan umum, saya belum pernah mencoba. :)
Memasuki wilayah Desa Sawarna kesan pertama yang saya tangkap adalah minimnya fasilitas untuk para wisatawan seperti layanan perbankan, kesehatan, atau pusat ritel perbelanjaan. Sekali lagi, minimnya fasilitas sepertinya memang harus dipertahankan untuk tetap menjaga agar Sawarna tidak menjadi Bali atau Lombok berikutnya (baca surga kapitalis tak bermoral). Biarkan para turis menghitung sendiri konsekuensi datang ke suatu daerah baru yang berarti harus mempersiapkan segala sesuatu dengan matang.
Hari pertama di Sawarna, saya habiskan untuk menghirup udara segar pedesaan yang diberikan gratis oleh Tuhan (FYI: di Jakarta udara ini menjadi barang mahal, harga minimal adalah seharga minuman termurah dari sebuah restoran ber-AC). Udara segar yang menjadi gabungan udara basah hutan tropis dan angin laut. Perpaduan romantis yang melenakan manusia. Gua Lalay menjadi tujuan saya berikutnya. Sebuah gua yang jarak dari start sampai finishnya adalah setengah jam. Konon gua ini terbentuk sejak jaman miosen dan dilengkapi stalaktit dan stalakmit indah di dalamnya. Pengalaman baru untuk saya yang belum pernah caving bahkan untuk tingkat paling pemula sekalipun. Gua Lalay menjadi perlintasan sungai berlumpur dan didiami oleh ratusan (atau ribuan) kelelawar. Hewan nocturnal ini memang menjadi penghuni lazim sebuah gua.Yang menarik di sini adalah terdapat sebuah aula besar di mana di dinding atas gua para kelelawar itu seperti memandang tajam sang tamu. Suasananya seperti di Batcave-nya Batman.Yeahh..
Di Sawarna juga saya sempat mencoba kembali surfing, olah raga yang pernah saya coba walaupun selalu gagal dan tak pernah jago. Di musim kering, kata pemuda setempat, beberapa bule Aussie atau Amrik datang ke tempat ini untuk mencoba ombak di Sawarna Point Reef. Saya sempat ditunjukkan dokumentasi beberapa bule yang datang saat ombak Sawarna Point Reef sedang bagus-bagusnya. Dan percayalah sang ombak tak kalah dengan Kuta, Dreamland, Suluban, Medewi, Keramas, G-Land, atau Cimaja. Sebuah alternatif lain untuk peselancar lokal maupun duranegara. Yang saya sayangkan adalah para pemuda dan anak lokal yang tidak terlalu antusias untuk menekuni olah raga ini. Padahal merekalah yang seharusnya justru paling mengenal ombak di sini, bukan bule-bule dari luar negeri. Saya sendiri berjanji akan mengajak beberapa teman untuk berselancar di Sawarna. Entah kapan janji itu dapat saya tepati, karena di tahun yang baru saya harus menjadi penghuni Pulau Sumbawa.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment