Wednesday, December 1, 2010

Terserah




"Wah, saya ga tahu mas", jawab seorang pemuda berumur dua puluh tahunan ketika saya tanyakan pintu masuk VIP timur Stadion Utama Gelora Bung Karno. Saya sudah berulang kali masuk stadion ini tapi tidak pernah hafal letak pintu masuk untuk masing-masing kategori tiket. Stadion ini memang terlalu besar dan teralu megah bagi saya dan dua orang teman saya yang notabene remaja rantau yang biasa menonton pertandingan sepak bola di stadion tradisional semacam Manahan, Sriwedari, Tridadi, dan Ngurah Rai. Dua nama pertama terletak di Surakarta, Tridadi ada di Sleman, dan Ngurah Rai adalah stadion yang katanya kebanggaan masyarakat Bali. 
Gelora Bung Karno menawarkan pengalaman baru dan kesulitan baru juga untuk kami. Pegawai baru yang sudah bisa membeli tiket seharga 100.000 untuk sebuah pertandigan sepak bola. Tapi kesulitan ini luluh begitu saja saat saya mendengar sayup-sayup teriakan dari dalam stadion. Suporter Indonesia yang sudah lebih dahulu masuk stadion berteriak dan bernyanyi lantang untuk membakar semangat punggawa Garuda lapangan hijau. Tak sabar rasanya masuk ke dalam.

Jujur saja, untuk ukuran sebuah pertandingan internasional melawan tim nasional negara jiran yang berulang kali 'membuat masalah' dengan kita, stadion terhitung sepi dan kurang semarak. Bahkan atmosfer dalam stadion tidak semegah dan suasananya tidak seberisik pertandingan Liga Indonesia antara Persija-Persib sebulan lalu, dan tentu tidak seberapa dibanding suasana GBK saat pertandingan pamungkas Liga Indonesia musim 2009/2010 antara Persija-Arema. Menurut saya faktor utamanya adalah penonton yang datang rata-rata bukan suporter tradisional namun suporter dari kalangan menengah dan cenderung menengah atas. Tak ada lagi parade bus Jakmania, konvoi Jak Angel dan gerombolan Aremania yang menyerbu Jakarta. Sedikit hambar rasanya. Well, inilah yang terjadi, proteksi dan kecurigaan berlebihan atas suporter tradisional menjadi hambatan utama ramainya stadion. GBK tanpa JakMania seperti sayur tanpa garam. Obviously.

Fakta lain yang menjadi bukti adalah, bahwa tidak ada suporter yang bernyanyi sepanjang pertandingan. Tak ada dirigen suporter layaknya Yuli Sumpil atau Ayi Beutik. Lebih parahnya, sebagian besar, utamanya sekelompok orang dibelakang saya menyuruh duduk saat pertandingan sedang seru Come on, it's not a movie theatre, right. Tapi apa daya, saya dan mereka membayar rupiah yang sama. Dan saya iri dengan sekelompok suporter di tribun utara yang selalu bernyanyi sepanjang pertandingan. Itulah yang sebenarnya,this is such a football game, and our national team is playing, so why are you sitting in comfort. Sedikit berlebihan memang, tapi 2 x 45 menit bukanlah waktu yang lama. Oh ya, kalau mau nyaman nonton di televisi saja. Bisa sambil makan atau tidur-tiduran. Atau sambil onani..hmmm, terserah.

No comments: